MY BLOG

head

head 2

ALL ABOUT ME

My photo
BANDUNG, JAWA BARAT, Indonesia
LENGKAPNYA DIONISIUS KRIS DE YANTO AKA RANGGA (A.K.A CRISS DHYON RANGGA) PERUBAHAN NAMA INI MENCERMINKAN PERUBAHAN HIDUPKU YANG DULUNYA TIDAK TAHU APA-APA DAN SEKARANG MENJADI SESEORANG YANG CEPAT TANGGA[P AKAN SESUATU YANG BARU

13agustus

13agustus3

Wednesday, March 8, 2017

IT'S MY LIFE PHARMACY: PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN DAN CARA PEMBERIAN OBAT...

IT'S MY LIFE PHARMACY: PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN DAN CARA PEMBERIAN OBAT...: BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Seiring dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, seb...

PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN DAN CARA PEMBERIAN OBAT SERTA PENGARUH VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT





BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Seiring dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, sebagai mahasiswa farmasi sudah seharusnya mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan obat baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga dari segi farmakologi dan toksikologinya. Farmakologi sebagai ilmu yang berbeda dari ilmu lain secara umum pada keterkaitan yang erat dengan ilmu dasar maupun ilmu klinik sangat sulit mengerti farmakologi tanpa pengetahuan tentang fisiologi tubuh, biokimia, dan ilmu kedokteran klinik. Jadi, farmakologi adalah ilmu yang mengintegrasikan ilmu kedokteran dasar dan menjembatani ilmu praklinik dan klinik. Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu cara membuat, memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat (Sudjadi Bagad, 2007).
Toksikologi berkembang luas di bidang kimia, kedokteran hewan, kedokteran dasar klinik, pertanian, perikanan, industry, etimologi hokum dan lingkungan. Perkembangan ini memungkinkan terjadinya reaksi dalam tubuh dan dalam jumlah yang kecil. Beberapa macam keracunan telah diketahui terjadi berdasarkan kelainan genetic, gejala keracunan dan tindakan untuk mengatasinya berbeda-beda.
Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah berjalan sejak puluhan tahun lalu. Agar mengetahui bagaimana cara kita sebagai mahasiswa maupun sebagai seorang  peneliti dalam hal ini mengetahui tentang kemampuan obat pada seluruh aspeknya yang  berhubungan dengan efek toksiknya maupun efek sampingnya tentunya kita membutuhkan hewan uji atau hewan percobaan. Hewan coba adalah hewan yang khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologis. Hewan laboratorium tersebut di gunakan sebagai uji praktik untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia.dalam praktikum kali ini menggunakan mencit sebagai hewan percobaan. Mencit merupakan  hewan yang mudah ditangani dan bersifat penakut fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya dan bersembunyi. Sehingga hewan tersebut sering dan banyak digunakan di dalam laboratorium farmakologi dalam berbagai bentuk percobaan.



1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah
1.    Bagaimana cara-cara penanganan hewan coba dengan baik?
2.    Apa syarat untuk dijadikan hewan coba?
3.    Bagaimana cara pemberian hewan coba?
4.    Bagaimana dosis dan perhitungan pada hewan coba?

1.3  Tujuan Penelitian
Tujuan pembuatan makalah ini adalah
1.      Untuk mengetahui cara-cara penanganan hewan coba dengan baik.
2.      Untuk mengetahui syarat untuk dijadikan hewan coba.
3.      Untuk mengetahui cara pemberian hewan coba.
4.      Untuk mengetahui dosis dan perhitungan pada hewan coba.


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.    Teori Tinjauan Pustaka
Hewan percobaan yang digunakan di laboratorium tidak ternilai jasanya dalam penilaian efek, toksisitas dan efek samping serta keamanan dan senyawa bioaktif. Hewan percobaan merupakan kunci di dalam pengembangan senyawa bioaktif dan usaha-usaha kesehatan (Malole, 1989).
Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang dan berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu senyawa bioaktif dengan hewan percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai fartor, yaitu
1.      Faktor internal pada hewan percobaan sendiri adalah umur, jenis kelamin, bobot badan, keadaan kesehatan, nutrisi, dan sifat genetik.
2.      Faktor–faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana kandang, populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan, pengalaman hewan percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang pemeliharaan,dan cara pemeliharaan. Keadaan faktor–faktor ini dapat merubah atau mempengaruhi respon hewan percobaan terhadap senyawa bioaktif yang diujikan. Penanganan yang tidak wajar terhadap hewan percobaan dapat mempengaruhi hasil percobaan, memberikan penyimpangan hasil. Di samping itu, cara pemberian senyawa bioaktif terhadap hewan percobaan tentu mempengaruhi respon hewan terhadap senyawa bioaktif yang bersangkutan terutama segi kemunculan efeknya. Cara pemberian yang digunakan tentu tergantung pula kepada bahan atau bentuk sediaan yang akan digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan. Sebelum senyawa bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya, senyawa bioaktif harus melalui proses absorpsi terlebih dahulu kemudian  sifat fisiologi yang berpengaruh.
a.       Distribusi.
b.      Absorpsi suatu senyawa bioaktif di samping ditentukan oleh sifat senyawa bioaktifnya sendiri juga ditentukan oleh sifat/keadaan daerah kontak mula oleh senyawa bioaktif dengan tubuh. Sifat–sifat fisiologis seperti jumlah suplai darah dan keadaan biokimia daerah kontak mula senyawa bioaktif dengan tubuh menentukan proses absorpsi senyawa bioaktif yang bersangkutan. Jumlah senyawa bioaktif yang akan mencapai sasaran kerjanya dalam jangka waktu tertentu akan berbeda.
c.       Cara atau rute pemberian senyawa bioaktif menentukan daerah kontak mula senyawa bioaktif dengan tubuh dan ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek senyawa bioaktif. Penanganan umum beberapa hewan coba berbeda dengan bahan kimia yang merupakan bahan mati, percobaan dengan hewan percobaan yang hidup memerlukan perhatian dan penganan/perlakuan yang khusus (Malole, 1989).
Cara Penanganan Hewan Coba
Mencit (Mus musculus) adalah hewan percobaan yang sering dan banyak digunakan di dalam laboratorium farmakologi dalam berbagai bentuk percobaan. Hewan ini mudah ditangani dan bersifat penakut, fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya dan bersembunyi. Aktivitasnya di malam hari lebih aktif. Kehadiran manusia akan mengurangi aktivitasnya.
Cara Memegang mencit
Mencit dapat dipegang dengan memegang ujung ekornya dengan tangan kanan, biarkan menjangkau / mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang). Kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuknya seerat / setegang mungkin. Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan jari manis tangan kiri. Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk diberi perlakuan (Malole, 1989).
Cara Pemberian Obat
Berbagai cara pemberian perlakuan terhadap hewan coba dapat dilakukan dengan cara:
1.   Cara pemberian oral
Pemberian secara oral pada mencit dilakukan dengan alat suntik yang dilengkapi jarum/kanula oral (berujung tumpul). Kanula ini dimasukkan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan diluncurkan melalui langit-langit ke arah belakang sampai esophagus kemudian masuk ke dalam lambung. Perlu diperhatikan bahwa cara peluncuran/pemasukan kanus yang mulus disertai pengeluaran cairan sediaannya yang mudah adalah cara pemberian yang benar. Cara pemberian yang keliru, masuk ke dalam saluran pernafasan atau paru-paru dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan kematian  (Thomson, E.B, 1985).



2.   Cara pemberian intra peritoneal
Mencit dipegang pada kulit punggungnya sehingga kulit abdomennya tegang.Pada saat penyuntikkan, posisi kepala lebih rendah dari abdomen yaitu dengan menunggingkan mencit atau tikus  Jarum disuntikkan sehingga membentuk sudut 46 derajat dengan abdomen, posisi jarum agak menepi dari garis tengah  (linea alba) untuk menghindari agar tidak mengenai organ di dalam peritoneum (Thomson, E.B , 1985).
3.   Cara pemberian subkutan:
Penyuntikkan dilakukan di bawah kulit pada daerah kulit tengkuk dicubit di antara jempol kemudian jarum di masukan di bawah kulit di antara kedua jari tersebut (Thomson, E.B , 1985).
4.   Cara pemberian intramuskular
Penyuntikan dilakukan ke dalam otot pada daerah otot paha (Thomson, E.B, 1985) .
5.   Cara pemberian intravena
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor. Hewan dimasukkan ke dalam kandang individual yang sempit dengan ekor dapat menjulang ke luar. Dilatasi vena untuk memudahkan penyuntikan, dapat dilakukan dengan pemanasan di bawah lampu atau dengan air hangat cara lain Masukkan hewan ke dalam “holder” sehingga ekor terjulur ke luar. Obat disuntikkan pada vena ekor (vena lateral) dengan terlebih dahulu vena ekor di dilatasi menggunakan alkohol atau xylol (Thomson, E.B , 1985).

Bobot Badan hewan Coba yang Digunakan
Di dalam penggunaan, hewan percobaan yang digunakan dapat berdasarkan kriteria bobot badannya di samping usianya. Farmakope Indonesia edisi III-1979 mengemukakan kriteria bobot beberapa hewan percobaan yang digunakan dalam uji hayati.
Mencit     : 17-25 gram
Kelinci     : 15-20 kg
Tikus        : 150-200 gram
Kucing     : tidak <5kg
Marmot    : 300-500 gram
Merpati    : 100-200 gram
Cara Mengorbankan Hewan Percobaan
1.      Pengorbanan hewan sering diperlakukan apabila keadaan rasa sakit yang hebat atau lama akibat suatu percobaan atau apabila mengalami kecelakaan, menderita sakit atau jumlahnya terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan.
2.      Etanasi atau cara kematian tanpa rasa sakit perlu dilakukan sedemikian sehingga hewan akan mati dengan seminimal mungkin rasa sakit. Pada dasarnya cara fisik yaitu dengan melakukan dislokasi leher adalah cara yang paling cepat, mudah dan berprikemanusiaan, tetapi cara perlakuan kematian juga perlu ditinjau bila ada tujuan dari pengorbanan hewan percobaan dalam rangkaian percobaan.
3.      Cara pengorbanan hewan lain adalah dengan menggunakan gas karbondioksida dalam wadah khusus atau dengan pemberian pentobarbital natrium pada takaran letalnya.

Anestesi pada Hewan Percobaan
     Perlakuan anestesi terhadap hewan percobaan kadang kala diperlukan untuk memudahkan cara pemberian senyawa bioaktif tertentu (pemberian i.v pada vena penis tikus) dan untuk percobaan-percobaan tertentu, misalnya pengukuran tekanan darah insitu pada carotid hewan dengan manometer condon. Umumnya anestesi hewan percobaan dapat dilakukan dengan pemebrian uretan sebesar 1,2 gram/kg bobot badan yang diberikan secara intraperitoneal.

Uraian Hewan Coba
Mencit (Mus musculus) (Syafri, M. 2010)
Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut:
Kingdom             : Animalia
Filum                   : Chordata
Sub filum             : Vertebrata
Kelas                    : Mamalia
Ordo                    : Rodentia
Genus                  : Mus
Spesies                 : Mus musculus

Mencit memiliki beberapa data biologis, diantaranya:
Lama hidup                        : 1-2 tahun
Lama produksi ekonomis   : 9 bulan
Lama bunting                     : 19-21 hari
Kawin sesudah beranak      : 1-24 jam
Umur disapih                      : 21 hari
Umur dewasa                     : 35 hari
Umur dikawinkan               : 8 minggu
Siklus kelamin                    : poliestrus
Perkawinan                         : pada waktu estrus
Berat dewasa                      : 20-40 gram (jantan)
dan 18-35 gram (betina)

2.2.   Metode
2.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah
ü  Sonde
ü  Spet
ü  Stopwatch
ü  Kandang mencit
ü  Penutup kandang yang kasar (kawat)
ü  Lampu senter
ü  Handchoen
ü  Masker
2.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah
ü  Suspensi CTM 1 mg
ü  Mencit (Mus musculus) 2 ekor sebagai hewan coba
ü  Koran
ü  Tissue
ü  Alcohol 70%

2.2.3 Prosedur Kerja
2.2.3.1 Cara penanganan pada hewan coba Mencit







2.2.3.2 Cara Pemberian Obat secara Oral

2.2.3.3 Cara Pemberian Obat secara Subkutan





BAB III
HASIL PERCOBAAN

Hewan coba
Cara pemberian
Waktu pemberian
Waktu bereaksi
Keterangan
Mencit
Oral
07.58 WIB
08.52 WIB
Pada rentang waktu 54 menit mencit mulai stress dan kelelahan.
Subkutan
08.03 WIB
08.43 WIB
Pada rentang waktu 40 menit mencit mulai lelah dan hanya diam di tempatnya.

















BAB IV
PEMBAHASAN

Pada praktikum farmakologi kali ini telah dilakukan penanganan hewan coba dan pengaruh cara pemberian obat. Cara pemberian obat pada mencit menggunakan 2 cara, yaitu secara oral dan subkutan. Hewan coba yang digunakan adalah mencit jantan sebanyak 2 ekor. Obat yang diberikan pada mencit tersebut adalah obat golongan antihistamin, yaitu CTM (chlortrimeton). Obat CTM ini memiliki efek sedative yang bisa menyebabkan rasa kantuk.
Pertama kali yang dilakukan adalah memegang mencit dengan benar. Adapun cara memengang mencit yang benar yaitu dengan mengangkat ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan mengeluarkannya dari kandang kemudian meletakkannya  di tempat yang permukaannya kasar (misalnya pada rang kawat pada penutup kandang), kemudian menjinakkannya dengan cara mengelus-elus bagian tekuk mencit menggunakan jari telunjuk. Stress pada mencit ditandai dengan mekarnya rambut pada tubuh mencit lalu tubuhnya bergetar, mencitpun jadi liar. Kemudian setelah mencit tenang kita menarik kulit pada bagian tengkuk mencit dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri, dan tangan kanan memegang ekornya lalu membalikkan tubuh mencit sehingga menghadap ke atas dan menjepit ekor dengan kelingking dan jari manis tangan kiri.
Praktikum selanjutnya adalah pemberikan obat pada hewan percobaan (mencit A) secara oral. Pertama obat dimasukan melalui mulut mencit dengan bantuan alat  kanula oral yang biasa disebut sonde. Pada saat pemasukan kanula harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati karena jika cara pemberian yang keliru dan masuk kedalam saluran pernafasan atau paru-paru dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan kematian. Dari hasil percobaan yang dilakukan pada pemberian obat secara peroral, yaitu obat mulai bereaksi pada menit ke-54 dari waktu awal pemberian. Efek yang ditimbulkan adalah mencit mulai stress dan kelelahan.
Pemberian obat secara subcutan pada mencit (B), yaitu pemberian obat dilakukan dibawah kulit tengkuk mencit, dengan cara kulit tengkuk dicubit dengan ibu jari dan jari telunjuk. Kemudian dibersihkan area kulit yang akan disuntik dengan alcohol 70%, dengan tujuan agar dapat mensterilkan bagian yang akan dimasuki jarum suntik. Dimasukkan cairan obat CTM (chlorpheniramin maleat) sebanyak 0,5 ml dengan menggunakan spuit 1 ml secara horisontal dari arah depan menembus kulit. Penyuntikan ini dilakukan dengan cepat untuk menghindari pendarahan yang terjadi dengan kepala mencit. Efek yang dialami mencit setelah 40 menit adalah mencit yang pada awalnya bergerak aktif berubah menjadi diam ditempatnya.
Berdasarkan hasil pengamatan dari kedua cara pemberian obat itu, yaitu secara oral dan subkutan pada mencit menghasilkan perbedaan waktu efek yang ditimbulkan. Pada pemberian obat secara subkutan lebih cepat daripada pemberian obat secara oral. Hal ini terjadi karena pemberian obat secara subcutan lebih cepat menimbulkan efek terapi daripada secara oral, karena pada pemberian subcutan tidak mengalami poses metabolisme di saluran pencernaan melainkan langsung menuju ke saluran sirkulasi dengan melalui membran pada kulit dan langsung ke kapiler sedangkan pada pemberian obat melalui oral, obat harus melalui fase absorbsi di saluran pencernaan, kemudian mengalami metabolisme dalam hati.
Adapun keuntungan dan kerugian dari pemberian dari kedua cara pemberian obat tersebut, yaitu pemberian obat secara oral merupakan cara pemberian obat secara umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya. Sedangkan pemberian secara subkutan memiliki keuntungan karena efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian secara oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat karena pada pemberian subcutan tidak mengalami poses metabolisme di saluran pencernaan melainkan langsung menuju ke saluran sirkulasi dengan melalui membran pada kulit dan langsung ke kapiler.


Kesalahan hasil percobaan ini dikarenakan antara lain :
1. Mekanisme injeksi yang kurang benar. Hal ini dikarenakan setiap
hewan uji diperlakukan oleh praktikan yang berbeda-beda dengan skill
dan pengalaman yang berbeda-beda pula . Injeksi yang salah dapat
mengakibatkan obat terakumulasi dalam jaringan yang salah sehingga
absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari yang seharusnya.
Injeksi yang salah juga bisa mengakibatkan dosis obat yang masuk
tidak sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan obat tidak masuk ke
sirkualsi sistemik.
2. Tingkat resistensi dari hewan percobaan yang berbeda-beda. Hewan
percobaan yang lebih resisten tentu mengakibatkan onset dan durasi
obat menjadi lebih cepat dari pada seharusnya atau tidak timbul efek
pada hewan percobaan walaupun diberikan injeksi sesuai dosis yang
telah ditentukan.
3. Kondisi hewan coba
Distribusi dan efek kerja uretan dipengaruhi juga oleh kondisi psikis
dan raga. Hewan percobaan yang banyak mendapatkan perlakukan yang
tidak sesuai bisa mengakibatkan stress sehingga kinerja uretan
terganggu (efek menjadi berkurang). Begitu pula juga dengan kondisi
kesehatan, kualitas genetik, serta nutrisi hewan uji.
4. Penentuan dosis yang tidak tepat. Hal ini bisa disebabkan
kesalahan pada proses penimbangan hewan uji atau pembuatan larutan
uretan. Hewan uji yang terlalu aktif sangat sukar untuk ditimbang
sehingga mengakibatkan kesalahan pengukuran bobot. Akibatnya dosis
yang diberikan bisa saja berlebih atau kurang dari yang seharusnya.
Begitu juga apabila terjadi kesalahan penimbangan uretan dan
pencukupan volumnya bisa menjadikan penyimpangan kesalahan
menjadi lebih besar.












BAB V
PENUTUP

5.1  Kesimpulan
ü  Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang dan berprikemanusiaan.
ü  Hewan coba yang baik harus bebas dari patogen, mempunyai kemampuan dalam memberikan reaksi imunitas yang baik, kepekaan terhadap suatu penyakit, dan mengikuti standart tertinggi sehubungan dengan (nutrisi, kebersihan pemeliharaan).
ü  Pemberian obat pada hewan coba dapat diberikan secara peroral, subkutan,  intravena, intramuskular, dan intraperitoneal.
ü Volume cairan obat yang diberikan pada hewan percobaan tidak boleh melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan.
ü Untuk memperoleh efek farmakologis yang sama dari suatu obat pada spesies hewan percobaan, diperlukan data penggunaan dosis dengan menggunakan perbandingan luas permukaan tubuh setiap spesies.
ü  Terdapat factor internal dan eksternal pada hewan percobaan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan.

5.2  Saran
ü  Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit  agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki
ü  Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara subkutan agar tidak mengalami kerusakan pada jaringan kulit pada saat penyuntikan.







DAFTAR ISI

Anief, M., 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Anonimous, 2013. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan. Laboratorium Fisiologi hewan. Fakultas Biologi. Universitas Gajah mada. Yogyakarta.
Katzung, BG. 1997.Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6.EGC : Jakarta, hal.414-417.
Malole, M. B. M. dan C. S. Pramono. (1989). Penggunaan Hewan-hewan percobaan Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syamsuddin, Muhammad. 2013. Laporan Farmakologi. http://kokhainband.blogspot.com/2013/ 05/laporan-farkol_22.html. Diakses pada tanggal 25 Maret 2015
Muliani H, (2011). Pertumbuhan Mencit (Mus Musculus L.) Setelah Pemberian Biji Jarak  Pagar (Jatropha curcas L.). Buletin Anatomi dan Fisiologi Vol.XIX, No. 1. Fakultas MIPA Universitas Diponegoro. Semarang.
Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995. Pengantar Farmakologi Dalam “Farmakologi dan Terapi”. Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 3-5.
Smith, B. J. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis Indonesia. University Press, Jakarta.
Sulaksono, M.E., 1992. Faktor Keturunan dan Lingkungan Menentukan Karakteristik Hewan Percobaan dan Hasil Suatu Percobaan Biomedis. Jakarta.
Tim laboratorium farmakologi, 2015. Petunjuk Pratikum Farmakologi . Institut Ilmu Kesehatan Kediri: Kediri









LAMPIRAN