MY BLOG
head
head 2
ALL ABOUT ME
- DHYON RANGGA "CDR_II"
- BANDUNG, JAWA BARAT, Indonesia
- LENGKAPNYA DIONISIUS KRIS DE YANTO AKA RANGGA (A.K.A CRISS DHYON RANGGA) PERUBAHAN NAMA INI MENCERMINKAN PERUBAHAN HIDUPKU YANG DULUNYA TIDAK TAHU APA-APA DAN SEKARANG MENJADI SESEORANG YANG CEPAT TANGGA[P AKAN SESUATU YANG BARU
13agustus
13agustus3
Wednesday, March 8, 2017
IT'S MY LIFE PHARMACY: PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN DAN CARA PEMBERIAN OBAT...
IT'S MY LIFE PHARMACY: PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN DAN CARA PEMBERIAN OBAT...: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, seb...
LENGKAPNYA DIONISIUS KRIS DE YANTO AKA RANGGA (A.K.A CRISS DHYON RANGGA) PERUBAHAN NAMA INI MENCERMINKAN PERUBAHAN HIDUPKU YANG DULUNYA TIDAK TAHU APA-APA DAN SEKARANG MENJADI SESEORANG YANG CEPAT TANGGA[P AKAN SESUATU YANG BARU
PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN DAN CARA PEMBERIAN OBAT SERTA PENGARUH VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kesehatan, sebagai mahasiswa farmasi sudah seharusnya
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan obat baik dari segi farmasetik,
farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga dari segi farmakologi dan
toksikologinya. Farmakologi sebagai ilmu yang berbeda dari ilmu lain secara
umum pada keterkaitan yang erat dengan ilmu dasar maupun ilmu klinik sangat
sulit mengerti farmakologi tanpa pengetahuan tentang fisiologi tubuh, biokimia,
dan ilmu kedokteran klinik. Jadi, farmakologi adalah ilmu yang mengintegrasikan
ilmu kedokteran dasar dan menjembatani ilmu praklinik dan klinik. Farmakologi
mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu cara membuat, memformulasi,
menyimpan, dan menyediakan obat (Sudjadi Bagad, 2007).
Toksikologi berkembang luas di bidang kimia,
kedokteran hewan, kedokteran dasar klinik, pertanian, perikanan, industry,
etimologi hokum dan lingkungan. Perkembangan ini memungkinkan terjadinya reaksi
dalam tubuh dan dalam jumlah yang kecil. Beberapa macam keracunan telah
diketahui terjadi berdasarkan kelainan genetic, gejala keracunan dan tindakan
untuk mengatasinya berbeda-beda.
Peranan
hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah berjalan sejak puluhan
tahun lalu. Agar mengetahui bagaimana cara
kita sebagai mahasiswa maupun sebagai seorang peneliti
dalam hal ini mengetahui tentang kemampuan obat pada seluruh aspeknya yang
berhubungan dengan efek toksiknya maupun efek sampingnya tentunya kita
membutuhkan hewan uji atau hewan percobaan. Hewan coba
adalah hewan yang khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologis.
Hewan laboratorium tersebut di gunakan
sebagai uji praktik
untuk penelitian pengaruh bahan kimia
atau obat pada manusia.dalam praktikum kali ini menggunakan mencit sebagai hewan
percobaan.
Mencit merupakan hewan yang mudah ditangani dan
bersifat penakut fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya dan bersembunyi. Sehingga
hewan tersebut sering
dan banyak digunakan di dalam laboratorium farmakologi dalam berbagai bentuk
percobaan.
1.2 Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah ini adalah
1. Bagaimana cara-cara penanganan hewan coba dengan baik?
2. Apa syarat untuk dijadikan hewan coba?
3. Bagaimana cara pemberian hewan coba?
4. Bagaimana dosis dan perhitungan pada hewan coba?
1.3 Tujuan
Penelitian
Tujuan
pembuatan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui cara-cara penanganan hewan coba
dengan baik.
2. Untuk mengetahui syarat untuk dijadikan hewan coba.
3. Untuk mengetahui cara pemberian hewan coba.
4. Untuk mengetahui dosis dan perhitungan pada hewan
coba.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.
2.
2.1. Teori Tinjauan Pustaka
Hewan percobaan
yang digunakan di laboratorium tidak
ternilai jasanya dalam penilaian efek, toksisitas dan efek samping serta
keamanan dan senyawa bioaktif. Hewan percobaan merupakan kunci di dalam
pengembangan senyawa bioaktif dan usaha-usaha kesehatan (Malole, 1989).
Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih
sayang dan berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu senyawa
bioaktif dengan hewan percobaan
dapat dipengaruhi oleh berbagai fartor, yaitu
1.
Faktor internal pada hewan percobaan sendiri adalah umur, jenis kelamin, bobot badan, keadaan kesehatan, nutrisi, dan sifat
genetik.
2.
Faktor–faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan
kandang, suasana kandang, populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat
pemeliharaan, pengalaman hewan percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang
pemeliharaan,dan cara pemeliharaan. Keadaan faktor–faktor ini dapat merubah
atau mempengaruhi respon hewan percobaan terhadap senyawa bioaktif yang
diujikan. Penanganan yang tidak wajar terhadap hewan percobaan dapat
mempengaruhi hasil percobaan, memberikan penyimpangan hasil. Di samping
itu, cara pemberian senyawa bioaktif
terhadap hewan percobaan tentu mempengaruhi
respon hewan terhadap senyawa bioaktif yang bersangkutan terutama segi
kemunculan efeknya. Cara
pemberian yang digunakan tentu tergantung pula kepada bahan atau bentuk sediaan
yang akan digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan. Sebelum senyawa
bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya, senyawa bioaktif harus melalui proses
absorpsi terlebih dahulu kemudian sifat fisiologi yang berpengaruh.
a.
Distribusi.
b.
Absorpsi suatu senyawa bioaktif di samping
ditentukan oleh sifat senyawa bioaktifnya sendiri juga ditentukan oleh sifat/keadaan
daerah kontak mula oleh senyawa bioaktif dengan tubuh. Sifat–sifat fisiologis
seperti jumlah suplai darah dan keadaan biokimia daerah kontak mula senyawa
bioaktif dengan tubuh menentukan proses absorpsi senyawa bioaktif yang
bersangkutan. Jumlah senyawa bioaktif yang akan mencapai sasaran kerjanya dalam
jangka waktu tertentu akan berbeda.
c.
Cara atau rute pemberian senyawa bioaktif menentukan
daerah kontak mula senyawa bioaktif dengan tubuh dan ini merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi efek senyawa
bioaktif. Penanganan umum beberapa
hewan coba berbeda dengan bahan kimia yang merupakan bahan mati, percobaan
dengan hewan percobaan yang hidup memerlukan perhatian dan penganan/perlakuan
yang khusus (Malole, 1989).
Cara Penanganan Hewan Coba
Mencit (Mus musculus) adalah hewan percobaan yang sering dan banyak digunakan di dalam
laboratorium farmakologi dalam berbagai bentuk percobaan. Hewan ini mudah
ditangani dan bersifat penakut, fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya dan
bersembunyi. Aktivitasnya di malam hari lebih aktif. Kehadiran manusia akan
mengurangi aktivitasnya.
Cara Memegang mencit
Mencit dapat
dipegang dengan memegang ujung ekornya dengan tangan kanan, biarkan menjangkau
/ mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang). Kemudian tangan kiri dengan ibu
jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuknya seerat / setegang mungkin.
Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan jari
manis tangan kiri. Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan
siap untuk diberi perlakuan (Malole, 1989).
Cara
Pemberian Obat
Berbagai cara pemberian perlakuan
terhadap hewan coba dapat dilakukan dengan cara:
1. Cara
pemberian oral
Pemberian
secara oral pada mencit dilakukan dengan alat suntik yang dilengkapi
jarum/kanula oral (berujung tumpul). Kanula ini dimasukkan ke dalam
mulut, kemudian perlahan-lahan diluncurkan melalui langit-langit ke arah
belakang sampai esophagus kemudian masuk ke dalam lambung. Perlu diperhatikan
bahwa cara peluncuran/pemasukan kanus yang mulus disertai pengeluaran cairan
sediaannya yang mudah adalah cara pemberian yang benar. Cara pemberian yang keliru,
masuk ke dalam saluran pernafasan atau paru-paru dapat menyebabkan gangguan
pernafasan dan kematian (Thomson, E.B,
1985).
2. Cara pemberian
intra peritoneal
Mencit dipegang pada kulit punggungnya sehingga kulit abdomennya tegang.Pada saat penyuntikkan, posisi kepala lebih rendah dari abdomen yaitu
dengan menunggingkan mencit atau tikus
Jarum disuntikkan sehingga membentuk sudut 46 derajat dengan abdomen,
posisi jarum agak menepi dari garis tengah (linea alba) untuk
menghindari agar tidak mengenai organ di dalam peritoneum (Thomson, E.B , 1985).
3. Cara
pemberian subkutan:
Penyuntikkan dilakukan di bawah
kulit pada daerah kulit tengkuk dicubit di antara jempol kemudian jarum di
masukan di bawah kulit di antara kedua jari tersebut (Thomson, E.B , 1985).
4. Cara
pemberian intramuskular
Penyuntikan dilakukan ke dalam otot
pada daerah otot paha (Thomson, E.B, 1985) .
5. Cara
pemberian intravena
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor. Hewan dimasukkan ke dalam kandang
individual yang sempit dengan ekor dapat menjulang ke luar. Dilatasi vena untuk
memudahkan penyuntikan, dapat dilakukan dengan pemanasan di bawah lampu atau
dengan air hangat cara lain Masukkan hewan ke dalam “holder” sehingga ekor
terjulur ke luar. Obat disuntikkan pada vena ekor (vena lateral) dengan
terlebih dahulu vena ekor di dilatasi menggunakan alkohol atau xylol (Thomson,
E.B , 1985).
Bobot Badan
hewan Coba yang Digunakan
Di dalam penggunaan, hewan percobaan yang digunakan dapat berdasarkan
kriteria bobot badannya di samping usianya. Farmakope Indonesia edisi III-1979
mengemukakan kriteria bobot beberapa hewan percobaan yang digunakan dalam uji
hayati.
Mencit : 17-25 gram
Kelinci : 15-20 kg
Tikus : 150-200 gram
Kucing : tidak <5kg
Marmot : 300-500 gram
Merpati : 100-200 gram
Cara Mengorbankan Hewan Percobaan
1.
Pengorbanan hewan sering diperlakukan apabila keadaan
rasa sakit yang hebat atau lama akibat suatu percobaan atau apabila mengalami
kecelakaan, menderita sakit atau jumlahnya terlalu banyak dibandingkan dengan
kebutuhan.
2.
Etanasi atau cara kematian tanpa rasa sakit perlu
dilakukan sedemikian sehingga hewan akan mati dengan seminimal mungkin rasa
sakit. Pada dasarnya cara fisik yaitu dengan melakukan dislokasi leher adalah
cara yang paling cepat, mudah dan berprikemanusiaan, tetapi cara perlakuan
kematian juga perlu ditinjau bila ada tujuan dari pengorbanan hewan percobaan
dalam rangkaian percobaan.
3.
Cara pengorbanan hewan lain adalah dengan menggunakan
gas karbondioksida dalam wadah khusus atau dengan pemberian pentobarbital
natrium pada takaran letalnya.
Anestesi pada Hewan Percobaan
Perlakuan anestesi terhadap hewan percobaan kadang kala diperlukan untuk
memudahkan cara pemberian senyawa bioaktif tertentu (pemberian i.v pada vena
penis tikus) dan untuk percobaan-percobaan tertentu, misalnya pengukuran
tekanan darah insitu pada carotid hewan dengan manometer condon. Umumnya
anestesi hewan percobaan dapat dilakukan dengan pemebrian uretan sebesar 1,2
gram/kg bobot badan yang diberikan secara intraperitoneal.
Uraian Hewan Coba
Mencit (Mus musculus) (Syafri, M. 2010)
Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
Mencit (Mus musculus) (Syafri, M. 2010)
Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
Mencit memiliki
beberapa data biologis, diantaranya:
Lama hidup : 1-2 tahun
Lama produksi ekonomis : 9 bulan
Lama bunting : 19-21 hari
Kawin sesudah beranak : 1-24 jam
Umur disapih : 21 hari
Umur dewasa : 35 hari
Umur dikawinkan : 8 minggu
Siklus kelamin : poliestrus
Perkawinan : pada waktu estrus
Berat dewasa : 20-40 gram (jantan) dan 18-35 gram (betina)
Lama hidup : 1-2 tahun
Lama produksi ekonomis : 9 bulan
Lama bunting : 19-21 hari
Kawin sesudah beranak : 1-24 jam
Umur disapih : 21 hari
Umur dewasa : 35 hari
Umur dikawinkan : 8 minggu
Siklus kelamin : poliestrus
Perkawinan : pada waktu estrus
Berat dewasa : 20-40 gram (jantan) dan 18-35 gram (betina)
2.2. Metode
2.2.1 Alat
Alat-alat yang
digunakan dalam praktikum ini adalah
ü
Sonde
ü
Spet
ü
Stopwatch
ü
Kandang
mencit
ü
Penutup
kandang yang kasar (kawat)
ü
Lampu
senter
ü
Handchoen
ü
Masker
2.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang
digunakan dalam praktikum ini adalah
ü
Suspensi
CTM 1 mg
ü
Mencit
(Mus musculus) 2 ekor sebagai hewan
coba
ü
Koran
ü
Tissue
ü
Alcohol
70%
2.2.3 Prosedur Kerja
2.2.3.1 Cara penanganan pada hewan coba Mencit
2.2.3.2 Cara Pemberian Obat secara Oral
2.2.3.3 Cara Pemberian Obat secara Subkutan
BAB III
HASIL PERCOBAAN
Hewan coba
|
Cara pemberian
|
Waktu pemberian
|
Waktu bereaksi
|
Keterangan
|
Mencit
|
Oral
|
07.58 WIB
|
08.52 WIB
|
Pada
rentang waktu 54
menit mencit mulai stress dan kelelahan.
|
Subkutan
|
08.03 WIB
|
08.43 WIB
|
Pada
rentang waktu 40 menit mencit mulai lelah dan hanya diam di tempatnya.
|
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada praktikum farmakologi kali ini telah dilakukan
penanganan hewan coba dan pengaruh cara pemberian obat. Cara pemberian obat
pada mencit menggunakan 2 cara, yaitu secara oral dan subkutan. Hewan coba yang
digunakan adalah mencit jantan sebanyak 2 ekor. Obat yang diberikan pada mencit
tersebut adalah obat golongan antihistamin, yaitu CTM (chlortrimeton). Obat CTM
ini memiliki efek sedative yang bisa menyebabkan rasa kantuk.
Pertama kali yang dilakukan adalah
memegang mencit dengan benar. Adapun cara memengang mencit yang benar yaitu dengan mengangkat ujung ekor mencit
dengan tangan kanan
dan mengeluarkannya dari kandang kemudian meletakkannya di tempat yang
permukaannya kasar (misalnya pada rang kawat pada penutup kandang), kemudian
menjinakkannya dengan cara mengelus-elus bagian tekuk mencit menggunakan jari
telunjuk. Stress pada mencit ditandai dengan mekarnya rambut pada tubuh mencit
lalu tubuhnya bergetar, mencitpun jadi liar. Kemudian setelah mencit tenang
kita menarik kulit pada bagian tengkuk mencit dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan
kiri, dan tangan kanan memegang ekornya lalu membalikkan tubuh mencit sehingga
menghadap ke atas dan menjepit ekor dengan kelingking dan jari manis tangan
kiri.
Praktikum selanjutnya adalah pemberikan obat pada hewan
percobaan (mencit A) secara oral.
Pertama
obat dimasukan melalui mulut mencit dengan bantuan alat kanula oral yang biasa disebut sonde. Pada
saat pemasukan kanula harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati karena jika
cara pemberian yang keliru dan masuk kedalam saluran pernafasan atau paru-paru
dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan kematian. Dari hasil percobaan yang
dilakukan pada
pemberian obat secara peroral, yaitu obat mulai bereaksi pada menit ke-54 dari waktu awal
pemberian. Efek yang ditimbulkan adalah
mencit
mulai stress dan kelelahan.
Pemberian obat secara
subcutan pada mencit (B), yaitu pemberian obat dilakukan dibawah
kulit tengkuk mencit, dengan
cara kulit tengkuk dicubit dengan ibu jari dan jari telunjuk. Kemudian dibersihkan area kulit yang akan disuntik dengan alcohol 70%, dengan
tujuan agar dapat mensterilkan bagian yang akan dimasuki jarum suntik. Dimasukkan cairan obat CTM (chlorpheniramin
maleat) sebanyak 0,5 ml dengan menggunakan spuit 1 ml secara horisontal dari arah depan menembus
kulit. Penyuntikan ini dilakukan dengan cepat untuk menghindari pendarahan yang
terjadi dengan kepala mencit. Efek
yang dialami mencit setelah 40 menit adalah mencit yang pada awalnya bergerak
aktif berubah menjadi diam ditempatnya.
Berdasarkan hasil pengamatan dari kedua cara
pemberian obat itu, yaitu
secara oral dan subkutan
pada mencit menghasilkan perbedaan waktu efek yang ditimbulkan. Pada pemberian
obat secara subkutan
lebih cepat daripada pemberian obat secara oral. Hal ini terjadi karena
pemberian obat secara subcutan lebih cepat menimbulkan efek terapi daripada
secara oral, karena pada pemberian subcutan tidak mengalami poses metabolisme
di saluran pencernaan melainkan langsung menuju ke saluran sirkulasi dengan melalui membran pada kulit
dan langsung ke kapiler sedangkan pada pemberian obat melalui oral, obat harus
melalui fase absorbsi di saluran pencernaan,
kemudian
mengalami metabolisme dalam hati.
Adapun keuntungan dan kerugian dari pemberian dari kedua cara pemberian
obat tersebut, yaitu pemberian obat secara
oral merupakan cara pemberian obat secara umum dilakukan karena mudah, aman,
dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitasnya. Sedangkan pemberian secara subkutan
memiliki keuntungan karena efek yang timbul lebih cepat dan teratur
dibandingkan dengan pemberian secara oral karena tidak mengalami tahap absorpsi
maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat karena pada pemberian
subcutan tidak mengalami poses metabolisme di saluran pencernaan melainkan
langsung menuju ke saluran sirkulasi
dengan
melalui membran pada kulit dan langsung ke kapiler.
Kesalahan hasil percobaan ini dikarenakan antara lain :
1. Mekanisme injeksi yang kurang benar. Hal ini dikarenakan setiap
hewan uji diperlakukan oleh praktikan yang berbeda-beda dengan skill
dan pengalaman yang berbeda-beda pula . Injeksi yang salah dapat
mengakibatkan obat terakumulasi dalam jaringan yang salah sehingga
absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari yang seharusnya.
Injeksi yang salah juga bisa mengakibatkan dosis obat yang masuk
tidak sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan obat tidak masuk ke
sirkualsi sistemik.
2. Tingkat resistensi dari hewan percobaan yang berbeda-beda. Hewan
percobaan yang lebih resisten tentu mengakibatkan onset dan durasi
obat menjadi lebih cepat dari pada seharusnya atau tidak timbul efek
pada hewan percobaan walaupun diberikan injeksi sesuai dosis yang
telah ditentukan.
3. Kondisi hewan coba
Distribusi dan efek kerja uretan dipengaruhi juga oleh kondisi psikis
dan raga. Hewan percobaan yang banyak mendapatkan perlakukan yang
tidak sesuai bisa mengakibatkan stress sehingga kinerja uretan
terganggu (efek menjadi berkurang). Begitu pula juga dengan kondisi
kesehatan, kualitas genetik, serta nutrisi hewan uji.
4. Penentuan dosis yang tidak tepat. Hal ini bisa disebabkan
kesalahan pada proses penimbangan hewan uji atau pembuatan larutan
uretan. Hewan uji yang terlalu aktif sangat sukar untuk ditimbang
sehingga mengakibatkan kesalahan pengukuran bobot. Akibatnya dosis
yang diberikan bisa saja berlebih atau kurang dari yang seharusnya.
Begitu juga apabila terjadi kesalahan penimbangan uretan dan
pencukupan volumnya bisa menjadikan penyimpangan kesalahan
menjadi lebih besar.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
ü Penanganan
hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang dan
berprikemanusiaan.
ü Hewan coba
yang baik harus bebas dari patogen, mempunyai kemampuan dalam memberikan reaksi
imunitas yang baik, kepekaan terhadap suatu penyakit, dan mengikuti standart
tertinggi sehubungan dengan (nutrisi, kebersihan pemeliharaan).
ü Pemberian
obat pada hewan coba dapat diberikan secara peroral, subkutan, intravena, intramuskular, dan
intraperitoneal.
ü Volume
cairan obat yang diberikan pada hewan percobaan tidak boleh melebihi batas
maksimal yang telah ditetapkan.
ü Untuk
memperoleh efek farmakologis yang sama dari suatu obat pada spesies hewan
percobaan, diperlukan data penggunaan dosis dengan menggunakan perbandingan
luas permukaan tubuh setiap spesies.
ü Terdapat factor internal dan eksternal pada hewan
percobaan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan.
5.2 Saran
ü Lebih
berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala
spuit agar dosis yang diberikan tepat
dan tercapai efek yang dikehendaki
ü Lebih
berhati-hati dalam pemberian obat secara subkutan agar tidak mengalami
kerusakan pada jaringan kulit pada saat penyuntikan.
DAFTAR ISI
Anief, M., 1994. Farmasetika.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Anonimous, 2013. Petunjuk
Praktikum Fisiologi Hewan. Laboratorium Fisiologi hewan. Fakultas Biologi.
Universitas Gajah mada. Yogyakarta.
Katzung, BG. 1997.Farmakologi
Dasar dan Klinik, edisi 6.EGC : Jakarta, hal.414-417.
Malole, M. B. M. dan C. S. Pramono. (1989). Penggunaan Hewan-hewan percobaan Laboratorium.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat
Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syamsuddin, Muhammad. 2013. Laporan Farmakologi. http://kokhainband.blogspot.com/2013/
05/laporan-farkol_22.html.
Diakses pada tanggal 25 Maret 2015
Muliani H, (2011). Pertumbuhan Mencit (Mus Musculus L.) Setelah Pemberian Biji Jarak
Pagar (Jatropha curcas L.). Buletin Anatomi dan Fisiologi Vol.XIX,
No. 1. Fakultas MIPA Universitas Diponegoro. Semarang.
Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995. Pengantar Farmakologi Dalam “Farmakologi dan
Terapi”. Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 3-5.
Smith, B. J. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan
Percobaan di Daerah Tropis Indonesia. University Press, Jakarta.
Sulaksono, M.E., 1992. Faktor Keturunan dan Lingkungan Menentukan Karakteristik Hewan
Percobaan dan Hasil Suatu Percobaan Biomedis. Jakarta.
Tim laboratorium farmakologi, 2015. Petunjuk
Pratikum Farmakologi . Institut Ilmu Kesehatan Kediri: Kediri
LAMPIRAN
LENGKAPNYA DIONISIUS KRIS DE YANTO AKA RANGGA (A.K.A CRISS DHYON RANGGA) PERUBAHAN NAMA INI MENCERMINKAN PERUBAHAN HIDUPKU YANG DULUNYA TIDAK TAHU APA-APA DAN SEKARANG MENJADI SESEORANG YANG CEPAT TANGGA[P AKAN SESUATU YANG BARU
Subscribe to:
Posts (Atom)