LAPORAN STUDI BIOEKIVALENSI OBAT
PRAKTIKUM FARMAKOKINETIK
OLEH
DIONISIUS KRIS DE YANTO AKA RANGGA
13161010
SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG
BANDUNG
2017
I.
TUJUAN
Setelah mengikuti
percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:
1.
Menentukan status bioekivalensi dari suatu produk obat
yang diuji
2.
Merancang penelitian uji bioavailabilitas dan
bioekivalensi suatu produk obat
II.
PRINSIP
1. Bioavaibilitas Relatif
Yaitu ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat dibandingkan
terhadap suatu standar yang diketahui.
a. Data Darah :
Bioavaibilitas Relatif (FREL) =
b. Data Urin :
Bioavaibilitas Relatif (FREL) =
2. Bioavaibbilitas Absolut
Perbandingan AUC suatu produk yang diuji setelah pemberian oral dan
intravena.
Bioavaibilitas Absolut (FABS) =
III.
TEORI DASAR
Uji Bioekivalensi (BE) merupakan data
ekivalensi untuk melihat kesetaraan sifat dan kerja obat didalam tubuh suatu
obat “copy” dibandingkan dengan obat innovator sebagai pembanding. Dua
produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai bioekivalensi
farmaseutik dan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis yang
sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efek dalam
efikasi maupun keamanan akan sama. Bioavailabilitas (BA) adalah persentase dan
kecepatan zat aktif dalam produk obat yang mencapai atau tersedia dalam
sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh / aktif, setelah pemberian obat diukur
dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin.
(BPOM, 2004., BPOM, 2006).
Uji bioavailabilitas dan bioekivalensi
(BABE) mensyaratkan pelaksanaan sesuai dengan pedoman praktek laboratorium yang
benar (Good Laboratory Practice) dan pedoman cara uji klinik yang baik (Good
Clinical Practice). Setiap laboratorium pengujian, untuk menyusun proposal
uji BABE diharuskan melakukan penelitian dan kajian pustaka, karena dalam
pedoman uji bioekivalensi tidak menentukan produk yang harus diuji maupun
inovator ataukomparatornya demikian pula dengan metode yang digunakan. (BPOM,
2004., BPOM, 2006).
Bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi
daya terapetik, aktivitas klinik, dan aktivitas toksik obat, maka
biofarmasetika menjadi sangat penting. Biofarmasetika bertujuan mengatur
pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan
yang optimal pada kondisi klinik tertentu (Shargel dan Andrew, 2005).
Bioavailabilitas terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Bioavailabilitas
absolut :
bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan
obat dibandingkan dengan bioavailabilitas zat aktif tersebut dengan pemberian
intra vena
2. Bioavailabilitas
relatif :
bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan
obat dibandingkan dengan bentuk sediaan lain selain intra vena. Bioavailabilitas suatu
produk obat dibandingkan dengan produk standar
Faktor
farmasetik yang mempengaruhi biovailabilitas obat aktif (Shargel dan Andrew,
2005):
1.
Disintegrasi
Sebelum
absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam
partikel-partikel kecil dan melepaskan obat.
2.
Pelarutan
Pelarutan
merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam
suatu pelarut. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil
dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna
sering mengendalikan laju absorbsi sistemik obat. Obat yang terlarut dalam
larutan jenuh dikenal sebagai ”stagnant layer”, berdifusi ke pelarut dari daerah
konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi obat yang rendah. Laju pelarutan
adalah jumlah obat yang terlarut per satuan luas per waktu (misal g/cm2.menit).
Laju pelarutan dipengaruhi pula oleh sifat fisikokimia obat, formulasi,
pelarut, suhu media dan kecepatan pengadukan
3.
Sifat
Fisikokimia Obat
Sifat
fisika dan kimia partikel-partikel obat padat mempunyai pengaruh yang besar
pada kinetika pelarutan. Sifat-sifat ini terdiri atas: luas permukaan, bentuk
geometrik partikel, derajat kelarutan obat dalam air, dan bentuk obat yang
polimorf.
4.
Faktor
Formulasi Yang Mempengaruhi Uji Pelarutan Obat
Berbagai
bahan tambahan dalam produk obat juga mempengaruhi kinetika pelarutan obat
dengan mengubah media tempat obat melarut atau bereaksi dengan obat itu
sendiri. Misalnya, magnesium stearat (bahan pelincir tablet) dapat menolak
air, dan bila digunakan dalam jumlah besar dapat menurunkan pelarutan. Natrium
bikarbonat dapat mengubah pH media. Untuk obat asam seperti aspirin dengan
media alkali akan menyebabkan obat tersebut melarut cepat. Serta, bahan
tambahan yang berinteraksi dengan obat dapat membentuk kompleks yang larut atau
tidak larut dalam air, contoh tetrasiklina dan kalsium karbonat membentuk
kalsium tetrasiklina yang tidak larut air.
Untuk
mengetahui perbandingan kualitas obat sediaan generik dengan sediaan paten
perlu diketahui bioekuivalensi antara dua sediaan tersebut. Masing-masing
sediaan diukur bioavailabilitasnya. Perbandingan bioavailabilitas ini disebut
bioekivalansi obat. Dasar untuk menentukan bioavailabilitas suatu obat terlebih
dahulu harus diketahui profil disolusinya. Disolusi tablet ialah jumlah atau
persen zat aktif dari sediaan padat yang larut pada waktu tertentu dalam
kondisi baku. Kondisi yang dimaksud misalnya, dalam suhu, kecepatan, pengadukan,
dan komposisi media tertentu. Uji disolusi merupakan suatu metode fisika kimia
yang penting sebagai parameter dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu
sediaan obat yang didasarkan pada pengukuran kecepatan pelepasan dan melarut
zat aktif dari sediaannya. Uji disolusi digunakan untuk uji bioavailabilitas
secara in vitro, karena hasil uji disolusi berkorelasi dengan ketersediaan
hayati obat dalam tubuh ( Stoklosa, 1991).
Dua
produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik
atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar
yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya
akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan (BPOM RI, 2004).
IV.
ALAT DAN BAHAN
1.
Alat
a.
Komputer
b.
Perangkat Lunak Microsoft
Excel
2.
Bahan
a.
Soal Tugas Praktikum Uji Bioekivalensi
V. DATA PENGAMATAN
-
BA absolut (F) suatu
sediaan obat berupa suspense oral konsentrasi zat aktif 50 mg/ml. apabila
dibandingkan dgn i.v konsentrasi zat aktif 100 mg/ml dmn dosis yg diberikan u/
suspense oral adalah 2 sendok teh sedangkan dosis i.v 2ml. data kadar obat sbb:
t
(jam)
|
kadar
(µg/ml)
|
|
suspensi
oral
|
i.v
|
|
0,5
|
2,75
|
5,31
|
1
|
6,24
|
4,62
|
1,5
|
8,5
|
4,02
|
2
|
9,81
|
3,5
|
3
|
7,43
|
2,65
|
4
|
5,6
|
2,01
|
6
|
3,19
|
1,16
|
8
|
1,91
|
0,66
|
Maka
BA absolutnya adalah sebagai berikut
T(jam)
|
Kadar (ug/ml)
|
AUC Oral
|
AUC IV
|
Ln IV
|
Ln Oral
|
|
|
suspensi oral
|
IV
|
||||
0
|
0
|
6.136165281
|
0.6875
|
2.861541
|
1.8142
|
#NUM!
|
0.5
|
2.75
|
5.31
|
2.2475
|
2.4825
|
1.669591835
|
1.0116009
|
1
|
6.24
|
4.62
|
3.685
|
2.16
|
1.530394705
|
1.8309802
|
1.5
|
8.5
|
4.02
|
4.5775
|
1.88
|
1.391281903
|
2.1400662
|
2
|
9.81
|
3.5
|
8.62
|
3.075
|
1.252762968
|
2.2834023
|
3
|
7.43
|
2.65
|
6.515
|
2.33
|
0.97455964
|
2.0055259
|
4
|
5.6
|
2.01
|
8.79
|
3.17
|
0.698134722
|
1.7227666
|
6
|
3.19
|
1.16
|
5.1
|
1.82
|
0.148420005
|
1.1600209
|
8
|
1.91
|
0.66
|
7.103012272
|
2.37069
|
-0.41551544
|
0.6471032
|
Total
|
47.32551227
|
22.14973
|
|
|
Ln Oral
|
|
Kadar tak hingga Oral
|
BA Absolut
|
Kadar IV
|
|||
#NUM!
|
6.136165
|
7.103012272
|
85.46471707
|
1.0116009
|
|
Kadar tak hingga vena
|
|
1.8309802
|
|
2.370689655
|
|
2.1400662
|
|
|
|
2.2834023
|
|
|
|
2.0055259
|
|
|
|
1.7227666
|
|
|
|
1.1600209
|
|
|
|
0.6471032
|
|
|
|
Gambar 1. Grafik
intravena obat
Gambar 2. Grafik oral
obat
-
Status BE dari ketiga
sediaan kapsul uji (A,B,C) terhadap sediaan standar
Sukarelawan
|
AUC
|
|||
Kapsul
A
|
Kapsul
B
|
Kapsul
C
|
Kapsul
std
|
|
1
|
14.1
|
19.1
|
9.6
|
15.8
|
2
|
20.2
|
20
|
10.6
|
19
|
3
|
19
|
17.5
|
14.6
|
19.3
|
4
|
13.2
|
20.3
|
13.1
|
18.4
|
5
|
13.5
|
17.3
|
10.4
|
17.2
|
6
|
17.9
|
17.4
|
8.3
|
16.5
|
7
|
12.4
|
17.2
|
14.5
|
17.9
|
8
|
15.8
|
16.9
|
11.4
|
17.5
|
1. Kapsul
A
sukarelawan
|
AUC
|
F=(AUC
A/ AUC STD)*100
|
|
kapsul
A
|
kapsul
STD
|
||
1
|
14.1
|
15.8
|
89.24050633
|
2
|
20.2
|
19
|
106.3157895
|
3
|
19
|
19.3
|
98.44559585
|
4
|
13.2
|
18.4
|
71.73913043
|
5
|
13.5
|
17.2
|
78.48837209
|
6
|
17.9
|
16.5
|
108.4848485
|
7
|
12.4
|
17.9
|
69.27374302
|
8
|
15.8
|
17.5
|
90.28571429
|
Rata-
rata
|
89.0342125
|
||
Standar
deviasi
|
14.9665048
|
||
Standar
deviasi rataan
|
5.291458517
|
||
tα (dk=7)
|
1.895
|
||
CLI
(+)
|
99.06152639
|
||
CLI
(-)
|
79.00689861
|
2. Kapsul
B
Sukarelawan
|
AUC
|
|
F
|
|
Kapsul B
|
Kapsul standar
|
|
1
|
19.1
|
15.8
|
1.208860759
|
2
|
20
|
19
|
1.052631579
|
3
|
17.5
|
19.3
|
0.906735751
|
4
|
20.3
|
18.4
|
1.10326087
|
5
|
17.3
|
17.2
|
1.005813953
|
6
|
17.4
|
16.5
|
1.054545455
|
7
|
17.2
|
17.9
|
0.960893855
|
8
|
16.9
|
17.5
|
0.965714286
|
Rata-rata F
|
1.032307063
|
||
Standar devasi F
|
0.094956957
|
||
Tα
|
1.895
|
||
Cli (+)
|
121.2250497
|
||
Cli (-)
|
85.23636298
|
3. Kapsul
C
Sukarelawan
|
AUC
|
F
|
|
Kapsul C
|
Kapsul Standar
|
||
1
|
9.6
|
15.8
|
0.607594937
|
2
|
10.6
|
19
|
0.557894737
|
3
|
14.6
|
19.3
|
0.756476684
|
4
|
13.1
|
18.4
|
0.711956522
|
5
|
10.4
|
17.2
|
0.604651163
|
6
|
8.3
|
16.5
|
0.503030303
|
7
|
14.5
|
17.9
|
0.810055866
|
8
|
11.4
|
17.5
|
0.651428571
|
|
|
rata - rata
|
0.650386098
|
|
|
Standar Deviasi
|
0.103325285
|
|
|
Tα
|
1.895
|
|
|
Cli +
|
84.61875121
|
|
|
Cli-
|
45.45846835
|
VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan
studi uji bioavaibilitas dan bioekivalesi. Pengujian ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan
bahwa suatu obat yang akan beredar di pasar telah melewati serangkaian
pengujian antara lain untuk membuktikan bahwa obat tersebut memiliki khasiat
seperti tang di harapkan, aman digunakan dan tidak menimbulkan efek negative
yang tidak diinginkan dengan proses produksi yang telah distandardisasi.
biasanya uji bioekivalensi ini dilakukan untuk pad obat generik agar dapat
dipastikan apabila obat tersebut beredar di masyarakat memenuhi syarat
bioekivalen. artinya, ketika seseorang mengonsumsi suatu obat, baik yang berupa
produk orisinil maupun generiknya, maka pasien akan mendapat efek yang sama.
Studi bioekivalensi obat ini penting
dilakukan karena pada kenyataannya, obat tidak hanya terdiri dari zat
berkhasiat saja, melainkan ditambahkan dengan bahan-bahan lain, selain itu
adnya perbedaan dalam proses pembuatan juga akan mempengaruhi suatu obat
sehingga pengujian ini harus dilakukan untuk mengetahui apakah obat yang di
buat memiliki khasiat yang sama dengan obat standarnya.
Namun, uji bioekivalensi ini belum menjadi
syarat utama suatu produk obat terutama di Indonesia. Alasan utamanya adalah
biaya yang di butuhkan oleh produsen obat untuk melakukan pengujian ini cukup
besar. Pengujian bioekivalensi obat ini melibatkan manusia sebagai objek
percobaan. Singkatnya, pengujian ini dilakukan dengan cara objek percobaan
yaitu manusia diberikan obat uji dan obat standar dalam waktu yang tidak
bersamaan. Kemudian sampel darahnya di ambil dan di ukur. Selanjutnya, hasil
pengukuran dari kedua sampel yaitu obat uji dan obat standanya di bandingkan.
Apabila hasilnya sama maka obat uji tersebut dapat dinyatakan bioekivalen
dengan obat orisinilnya dan tentunya akan memberikan efek yang sama saat
digunakan.
Sedangkan bioavaibiltas itu sendiri merupakan suatu istilah yang menyatakan
jumlah/proporsi (exetent) obat yang diabsorpsi dan kecepatan (rate)
yang diabsorpsi itu terjadi. Extent biasanya dinyatakan dalam
F. Hal ini biasanya diukur dari perkembangan kadar obat (zat aktif) atau
metabolit aktifnya dalam darah dan eksresinya dalam urin terhadap waktu.
Pada pengujian pertama dilakukan
perhitungan BA absolut (F) suatu sediaan obat berupa suspense oral konsentrasi
zat aktif 50 mg/mL, apabila dibandingkan dgn i.v konsentrasi zat aktif 100
mg/mL dmn dosis yg diberikan untuk suspense oral adalah 2 sendok teh sedangkan
dosis i.v 2mL dengan data sebagai berikut
t
(jam)
|
kadar
(µg/ml)
|
|
suspensi
oral
|
i.v
|
|
0,5
|
2,75
|
5,31
|
1
|
6,24
|
4,62
|
1,5
|
8,5
|
4,02
|
2
|
9,81
|
3,5
|
3
|
7,43
|
2,65
|
4
|
5,6
|
2,01
|
6
|
3,19
|
1,16
|
8
|
1,91
|
0,66
|
Pertama – tama dilakukan perhitungan AUC sediaan suspense
oral dan intravena. Selanjutnya dilakukan perhitungan ln nya dan di cari nilai
eksponennya maka didapatkan kadar intravena nya yaitu sebesar 6.136165, kemudian
didapatkan pula kadar tak hingga oral dengan t saat 8 jam yang digunakan dalam
perhitungan di dapatkan 7.103012272, sedangkan kadar tak hingga intra vena nya
adalah 2.370689655 yang dapat di gambarkan pada kurva sebagai berikut
Dari data yang telah di
peroleh dapat diketahui bioavaibilitas absolut obat dengan melakukan
perhitungan :
BA = x x 100
Dan di dapatkan BA obat
yang diujikan adalah 85.46471707, hasil
ini masih cukup baik karena ketersediannya dalam darah masih tinggi yaitu
sekitar 85%.
Pengujian selanjutnya dilakukan uji bioekivalensi terhadap 3
kapsul uji yang di bandingkan dengan standarnya, uji ini untuk memastikan obat
yang di ujikan memiliki efek yang sama dengan obat standarnya. Pengujian ini
dilakukan terhadap 8 orang sukarelawan yang di berikan obat uji dan obat
standar pada waktu yang tidak bersamaan kemudian di ambil sampel nya dan di
ukur kadarnya. Analisis dilakukan dengan perhitungan AUC obat uji dan obat
standar dari setiap sukarelawan, kemudian di hitung nilai F nya, F menyatakan
nilai kadar obat yang diabsorpsi.
F=(AUC
A/ AUC STD)*100
|
|
maka didapatkan nilai F
rata-ratanya untuk kapsul A adalah sebesar 89.0342125. Kemudian masih dengan
menggunakan Microsoft excel di hitung pula nilai standar deviasi rataannya
untuk mendapatkan kriteria BE dan nilainya adalah 5.291458517, dan nilai tα
berdasarkan tabel yaitu 1.895 maka dapat
dilakukan perhitungan kriteria BE yang dinyatakan dengan rumus :
|
Kriteria BE yang baik
suatu obat harus memiliki nilai BE 80 – 125 %.
Untuk kapsul A sendiri nilai Cli(+) nya adalah 99.06152639 dan nilai
Cli(-) nya adalah 79.00689861. Maka dapat disimpulan kapsul A ini tidak
memenuhi kriteria BE yang baik karena nilai Cli(-) nya kurang dari 80%.
Untuk kapsul B yang diujikan, di dapatkan nilai Cli(+) nya
adalah 121.2250497 dan nilai Cli(-) nya adalah 85.23636298. Maka dapat
disimpulkan kapsul B ini tmemenuhi kriteria BE yang baik karena nilai Cli(+)
dan Cli(-) nya berada dalam rentang 80 –
125 %. Selanjutnya kapsul yang terakhir yaitu kapsul C, di dapatkan nilai Cli(+) nya adalah
84.61875121, dan nilai Cli(-) nya adalah 45.45846835, maka dapat disimpulkan juga bahwa kapsul C ini tidak memenuhi
kriteria BE yang baik karena nilai Cli(-) nya kurang dari 80%.
VII. Kesimpulan
1. Uji bioekuivalensi dapat dilakukan dengan membandingkan obat
yang akan di uji dengan obat standarnya. Kriteria obat yang memiliki BE yang
baik adalah dengan nilai 80-125%. Dari pengujian yang dilakukan obat yang
memenuhi kriteria BE yang baik adalah kapsul B.
2. Uji bioavaibilitas dan bioekuivalensi dapat dirancang untuk
memastikan suatu obat memiliki kualitas yang baik dan memiliki efek yang sama
sesuai dengan obat standarnya bila diberikan pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) (2004), Pedoman
Uji Bioekivalensi.
cetakan I, Badan pengawas obat dan makan RI. Jl. Percetakan Negara No.
23. Jakarta.
Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) (2006). Pedoman
Cara
Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta
Shargel, L. dan B.C. Andrew. 2005.
Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya: Airlangga University
Press.
Stoklosa
MJ, Ansel HC, 1991. Pharmaceutical
Calcutations 9th. London: Lea &
Febiger.
Pages 74-89.
No comments:
Post a Comment