MYASTENIA GRAVIS
(Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Imunologi)
MAKALAH
Diusulkan Oleh:
DIONISIUS KRIS DE YANTO AKA RANGGA, A. Md.F
KELAS FA1 MATRIKULASI
SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG
2017
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2
A.
|
Definisi ....................................................................................................
|
2
|
B.
|
Epidemiologi
...........................................................................................
|
2
|
C.
|
Anatomi dan Fisiologis Neuromuscular
Junction ..................................
|
2
|
D.
|
Patofisiologi ............................................................................................
|
4
|
E.
|
Etiologi ....................................................................................................
|
5
|
F.
|
Gejala Klinis ............................................................................................
|
11
|
G.
|
Diagnosis .................................................................................................
|
15
|
H.
|
Penatalaksanaan
.......................................................................................
|
18
|
I.
|
Diagnosis Banding ...................................................................................
|
20
|
J.
|
Prognosis ..................................................................................................
|
21
|
BAB 3 PENUTUP
............................................................................................... 22
BAB 1
PENDAHULUAN
Miastenia
gravis adalah suatu penyakit yang mengenai sambungan neuromuskular, ditandai oleh kelemahan otot berat. Miastenia artinya “kelemahan otot” dan
gravis
artinya “parah”.
Ini adalah
suatu penyakit autoimun
dimana
tubuh secara salah memproduksi antibodi terhadap reseptor asetilkolin
(AChR) sehingga jumlah
AchR di
neuromuscular
juction berkurang. Jolly (1895) adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah Miastenia gravis dan ia juga mengusulkan pemakaian
fisostigmin
sebagai obatnya
namun
hal ini tidak
berlanjut. Baru kemudian Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa
fisostigmin merupakan
obat yang baik
untuk Miastenia gravis.
Penurunan jumlah hasil AChR dalam pola karakteristik
kekuatan otot semakin berkurang dengan penggunaan berulang dan pemulihan kekuatan otot
setelah masa istirahat.
Otot yang sering terkena ada otot pengontrol mata dan
gerakan bola mata, otot ekspresi wajah, otot untuk berbicara dan otot penelan tetapi tidak selalu ada. Otot anggota gerak dan otot pernafasan juga bisa terkena. Miastenia gravis juga dapat terjadi pada semua umur dan ras. Puncak kejadian
pada wanita terjadi pada umur 20-30 tahun , sedangkan pada
laki-laki dapat terjadi
pada umur 60 tahun.
Namun, penyakit ini juga dapat terjadi pada semua umur.
Pada
beberapa kasus, beberapa
bayi dari ibu dengan Miastenia gravis dapat memperoleh antibodi anti AchR saat lahir, dapat menderita Miastenia
neonatus sementara dan
dapat
menghilang beberapa minggu setelah
lahir.
Pembuktian
etiologi auto-imunologiknya diberikan oleh
kenyataan bahwa
glandula timus mempunyai hubungan yang erat. Pada
80 % penderita Miastenia
didapati glandula timus yang
abnormal. Kira-kira 10 % dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada
penderita-penderita
lainnya terdapat
infiltrat limfositer pada pusat germinativa glandula timus tanpa perubahan di jaringan linfositer lainnya. Kelainan di glandula timus seperti ini juga dijumpai
pada penderita dengan lupus eritematous sistemik,
tirotoksikosis, miksedema,
penyakit addison
dan
anemia hemolitik eksperimental pada tikus.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Miastenia gravis adalah penyakit yang
menyerang hubungan antara sistem
saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis
ditandai dengan kelemahan dan kelelahan pada beberapa
atau seluruh otot, di mana kelemahan tersebut diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau
berulang-ulang. Miastenia gravis adalah
penyakit autoimun yang
menyerang
neuromuskular
juction
ditandai
oleh suatu
kelemahan
otot dan cepat lelah
akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga
jumlah
AchR di neuromuskular juction berkurang.
B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi penderita dengan Miastenia gravis di Amerika
Serikat pada
tahun 2004 diperkirakan mencapai 20 per 100.000 penduduk. Prevalensi pasti
mungkin lebih tinggi karena
kebanyakan kasus Miastenia gravis
tidak terdiagnosis. Insiden Miastenia gravis mencapai 1 dari
7500 penduduk, menyerang
semua kelompok umur. Penelitian epidemiologi telah menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi penyakit
Miastenia gravis dan angka kematian yang meningkat di atas umur 50 tahun. Pada umur
20-30 tahun Miastenia gravis lebih banyak dijumpai
pada wanita. Sementara
itu diatas 60 tahun lebih banyak pada pria (perbandingan ratio wanita dan pria adalah 3:2).
C. ANATOMI DAN FISIOLOGIS NEUROMUSCULAR JUNCTION
Sebelum memahami tentang Miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal dari neuromuscular junction
sangatlah penting. Potensial aksi di neuron motorik merambat cepat dari badan sel di dalam SSP ke
otot rangka di sepanjang
akson bermielin besar (serat eferen) neuron. Sewaktu mendekati otot, akson membentuk banyak cabang terminal dan kehilangan selubung mielinnya.
Masing-masing
dari terminal akson
ini membentuk persambungan khusus, neuromuscular junction, dengan satu dari
banyak sel otot yang membentuk
otot secara keseluruhan. Sel otot, disebut juga
serat
otot, berbentuk silindris dan
panjang. Terminal akson
membesar membentuk
struktur
mirip
tombol,
terminal button
yang pas
masuk ke cekungan dangkal, atau groove ,
di serat otot dibawahnya. Sebagian
ilmuwan menyebut neuromuscular junction sebagai “motor end
plate”.
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk memungkinkan
transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya,
seperti di
sinaps
saraf, terdapat suatu pembawa pesan
kimiawi yang
mengangkut sinyal antara
ujung saraf dan
serat otot. Neurotransmitter ini disebut sebagai asetilkolin (ACh).
Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan
dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated
Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx
Calcium. Influx
ini akan mengaktifkan
vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami docking
pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang
terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic. ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin
(AChR) yang terdapat pada
membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan- lekukan
pada membran
post-synaptic.
AChR
terdiri dari
5
subunit
protein,
yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit
ini tersusun membentuk
lingkaran yang siap
untuk
mengikat ACh. Ikatan
antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang
Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx
Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada
membran post-synaptic.
Jika
depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada
sel
otot tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan)
ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan
kontraksi. ACh yang masih tertempel
pada AChR
kemudian akan
dihidrolisis oleh
enzim
Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada
celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk ke
dalam membran pre-synaptic untuk
membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk
dapat mencegah
terjadinya potensial
aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi
terus menerus.
Gambar 1. Anatomi Neuromuskular Junction
D. PATOFISIOLOGI
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah
Acetyl Choline Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan
Acetyl Choline(ACh) yang tetap
dilepaskan dalam jumlah
normal tidak
dapat mengantarkan potensial aksi
menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang
tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf
yang diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit
pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena
proses auto-immun di dalam tubuh yang
memproduksi anti-AChR bodies,
yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Etipatogenesis proses autoimun pada Miastenia gravis
tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian
diduga kelenjar timus turut berperan pada patogenesis Miastenia
gravis. Sekitar 75
% pasien
Miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien
menunjjukan hiperplasi
timus
yang menandakan
aktifnya respon imun dan 10 % berhubungan dengan
timoma
E. ETIOLOGI
Terlepas dari bentuk klinis, MG adalah penyakit multifaktorial. Timbulnya
penyakit ini tidak
jelas dan kemungkinan terkait dengan kombinasi faktor predisposisi dan faktor lingkungan.
1. Kerentanan Genetik
Penelitian terbaru meneliti literatur
MG dan ditentukan
tingkat kesesuaian
pada
monozigot kembar. Penelitian, yang disusun 31 pasang kembar monozigot, menunjukkan koordinasi di
35%
dari kasus (11
pasangan), sedangkan frekuensi di antara
kembar heterozigot adalah sekitar 45%. Hasil ini
menyoroti
peran penting
dari latar belakang genetik
individu dalam kerentanan
terhadap MG.
Kaitan antara
antigen leukosit manusia (HLA) kelas
I dan
kelas II dengan MG ditetapkan secara jelas. Hubungan antara HLA-B8 (MHC kelas I)
dan -DR3 (MHC kelas II) dan EOMG, yang berhubungan
dengan hiperplasia
folikel thymus, diperkuat
dalam beberapa
penelitian. LOMG dikaitkan dengan HLA-DR2-B7. Menariknya, gen MHC kelas II HLA-DR3 dan HLA-DR7
tampaknya memiliki efek berlawanan pada subkelompok yang berbeda
dari
MG. HLA-DR3 sering dikaitkan
dengan EOMG dan tampaknya
menjadi pelindung pada
pasien LOMG, sedangkan HLA-DR7 memiliki efek yang berlawanan. Kaitan dengan HLA-DR14-DQ5 diamati pada
pasien Musk-MG. Kerentanan gen
lainnya juga telah dijelaskan. Beberapa gen ini juga terkait dengan penyakit
autoimun lainnya dan mewakili gen yang rentan terhadap autoimunitas. Gen-gen
ini termasuk PTPN22,
CTLA-4,
IL-1β,
IL-10,
TNF-α,
dan IFN-γ [94]. Gen PTPN22
mengkodekan anggota dari subfamili tirosin fosfat dan mengganggu
sinyal dalam sel T, yang mengarah ke
penghambatan aktivasi sel T. Molekul CTLA-4 sangat polimorf dan memainkan peran sebagai immunoregulatory dengan membatasi aktivasi berlebihan dari sel-sel T. Sebuah alel TNF-α tertentu
sering ditemukan pada
wanita dengan EOMG. Selain itu,
alel ini dikaitkan dengan produksi berlebihan
dari TNF-α. α-AChR promotor
secara genetik terkait pula dengan autoimun MG.
Sebuah studi baru-baru ini mengidentifikasi sebauh homozigot varian nukleotida tunggal yang berkaitan dengan gen ecto-NADH
oksidase 1 (ENOX1) dalam kerabat dengan kerabat orangtua (yaitu, 5 dari
10 bersaudara) dengan
LOMG. Protein
Enox mengkatalisis oksidasi hydroquinone dan pertukaran
protein disulfide-thiol. Varian ENOX1 mungkin mempengaruhi individu untuk MG dengan mempengaruhi endplate
motorik dan/atau respon autoimun. Namun, peran yang tepat dari ENOX1 di MG perlu diselidiki dalam kelompok pasien
yang
lebih
besar.
Akhirnya, dalam
sebuah penelitian asosiasi genome (GWAS) dilakukan
pada pasien EOMG di utara
Eropa, selain untuk menambah
kaitan yang erat dengan HLA kelas I (HLA-B
* 08) wilayah
yang sudah
dikenal, hubungan
dengan faktor
transkripsi
TCF19
diamati
pada
pasien AChR-MG.
TCF19 terlibat dalam proliferasi dan diferensiasi sel dan pengaturan dalam pro-B dan
pra-B sel manusia. Gen ini juga sangat disajikan
dalam sel GC. Dua
lokus lain yang juga diidentifikasi, sesuai dengan PTPN22 dan TNF-α
diinduksi protein 3 yang
berinteraksi dengan
protein 1 (TNIP1).
TNIP1
terletak di wilayah
kromosom HLA, dan polimorfisme
gen
ini telah berhubungan dengan penyakit
peradangan kronis. TNIP1 adalah transduksi sinyal protein yang
menghambat
transduksi sinyal oleh transmembran dan reseptor nuklir. Protein ini dibutuhkan untuk penghentian respon TLR dan menampilkan
aktivitas
penghambatan, sebagai secara berlebih mengurangi aktivasi TNF-α atau IL-1 yang diinduksi NF-KB. Tikus dengan mutasi knocking mengganggu
wilayah ikatan ubiquitin
TNIP1 yang mengembangkan keunggulan dari
autoimunitas, termasuk pembentukan spontan GCS, iso-type
switchching, dan produksi antibodi autoreaktif. Secara
keseluruhan, data ini menunjukkan bahwa
varian TNIP1 ini
dikaitkan dengan keadaan peradangan yang memburuk.
Perlu ada
yang
sebagian besar
gen yang terkait dengan MG terlibat
dalam mengatur sistem kekebalan
tubuh. Oleh karena itu kita bisa mengusulkan bahwa subjek dengan alel yang spesifik yang berkaitan dengan kapasitas immunoregulatory
lebih rendah mungkin
lebih rentan terhadap
penyakit
autoimun, khususnya untuk MG. Selain analisa genetik, banyak penelitian juga
dalam proses untuk menentukan
dampak dari epigenetik modifikasi gen yang
dipilih yang
mungkin memainkan peran sentral
dalam penyakit autoimun.
2. Implikasi miRNAs pada Myastenia Gravis
MicroRNAs (miRNAs) RNA
non-coding kecil
yang
memediasi gen
target pasca-transkripsi. Pada hewan miRNAs biasanya
mengikat ke sel pelengkap pada 3' untranslated
region (UTR) dari gen target dan mengatur
ekspresi gen target dengan
penghambatan translasi,
degradasi mRNA, atau
kedua proses tersebut. Disregulasi miRNAs telah
dijelaskan
dalam berbagai
penyakit autoimun, termasuk
psoriasis, rheumatoid arthritis, lupus eritematosus sistemik, dan banyak
lainnya. Namun,
penelitian miRNAs
di MG terbatas.
Baru-baru ini, 34 miRNAs yang berbeda dinyatakan dalam limfosit
darah perifer dari pasien MG dan kontrol yang sehat diidentifikasi
dalam kelompok Cina. Menariknya, penurunan kadar mir-320A diamati, dan penurunan ini berkorelasi dengan peningkatan kadar
sitokin pro-inflamasi (yaitu. IL-2, IFN-
γ. IL-17, dan IL-6)
mir-320A menghambat jalur regulasi ekstraseluler kinase (ERK). Hubungan antara
perubahan dalam ekspresi miRNa ini dan mekanisme
fisiopatologis dari MG memerlukan
penyelidikan
lebih lanjut. Untuk saat ini, hubungan antara mir-320A
dan
proses autoimun belum terbukti, tapi miRNa ini sering
diatur dalam sel kanker dan jaringan
kanker
kolon dan meningkat pada
serum pasien dengan
gagal jantung.
Secara
signifikan penurunan
kadar
let-7
miRNAs
dapat
diamati di PBMC dari
pasien MG, bila dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Ada korelasi
negatif antara let-7c dan
tingkat
IL-10 mRNA. Menariknya,
dalam naskah baru-baru
ini,
Gandhi et al menunjukkan bahwa let-7 miRNAs
membedakan subkelompok pasien Multiple Sclerosis
(MS) dari kontrol sehat. Let-7 miRNAs yang ditunjukkan untuk mengatur diferensiasi sel induk dan
aktivasi sel T dan mengaktifkan TLR7. Let-7 juga ditunjukkan
untuk mengatur ekspresi Fas dan kepekaan terhadap Fas dimediasi apoptosis. Karena
Fas
diregulasi dalam sel T dari pasien MG, memungkinkan bahwa perubahan dalam
ekspresi let-7 bisa menjelaskan disregulasi
Fas pada pasien MG. Infeksi
Salmonella menurunkan regulasi ekspresi let-7 miRNAs di beberapa jenis sel.
Temuan mendorong penelitian baru.
Perubahan ekspresi miRNa yang dihasilkan
dari peristiwa eksternal, seperti infeksi, secara signifikan bisa mengubah regulasi
sel-sel kekebalan.
3.
Peran Hormon Seks dalam Myastenia Gravis
Pada penderita EOMG (Early Onset Myastenia Gravis), ada
hubungan yang jelas antara patologi timus
dan
jenis kelamin. Hiperplasia folikel timus terutama mempengaruhi pasien wanita yaitu dengan rasio laki-laki:perempuan
9:1, selama masa subur kehidupan
mereka, terutama hubungan potensial antara sel
B yang memediasi autoimunitas dan
hormon seks.
Hormon seks, terutama estrogen, dan juga progesteron serta
testosteron, mempengaruhi
sel-sel imun secara
kualitatif dan kuantitatif.
Penelitian yang relevan telah difokuskan pada dampak hormon ini pada produksi sitokin oleh sel
efektor yang berbeda dan pada produksi imunoglobulin oleh limfosit B.
Estrogen biasanya dalam mendukung proses kekebalan tubuh melibatkan sel CD4+
Th2 dan sel B,
mendorong sel B
yang
memediasi penyakit
autoimun.
Di kompartemen sel B, estrogen merupakan stimulator
imun
yang mempengaruhi pematangan,
seleksi, dan sekresi antibodi. Hal ini juga
memungkinkan sel B autoreaktif untuk melepaskan diri dari mekanisme normal yang menyebabkan toleransi dan penumpukan dalam
jumlah yang
cukup untuk menyebabkan
penyakit autoimun.
Selain itu, hubungan antara
autoimunitas, pembentukan
GCs (Germinal Centers), dan reseptor estrogen (ER) telah dilaporkan sebelumnya. Erα pada
tikus knockout menunjukkan kekebalan
kompleks tipe glomerulonefritis, kerusakan sel
tubular, dan infiltrasi parah
limfosit B ke ginjal, serta pembentukan spontan GCS di limpa tanpa adanya suatu antigen.
Estrogen juga memiliki pengaruh yang kuat pada pengembangan dan
dalam pemeliharaan fungsi thymus dan juga pada
sel
T CD4 dan CD8. Tikus
knockout yang kekurangan ERα menunjukkan kedua Thymus lebih kecil dari
jenis Littermates liar
dan
E2 yang diinduksi thymus atrofi. Namun, E2 tidak menyebabkan
lymphocytopenia
di organ perifer, melainkan merangsang
jumlah sel T extrathymic
di hati dan organ lainnya. Selain itu, tingkat fisiologis estrogen merangsang ekspansi sel Treg CD4+ CD25, yang membantu menjaga toleransi
untuk self-antigen. Namun, seperti dibahas di atas, sel-sel Treg bisa menjadi
tidak
efisien karena efek dari
lingkungan inflamasi.
Modulasi gejala klinis MG selama kehamilan
dan menstruasi juga telah dilaporkan, dan fenomena
ini bisa hilang setelah thymectomy. Eksaserbasi MG
dapat terjadi selama
kehamilan
dan
periode postpartum. Hal ini kemungkinan bahwa
hormon seks memiliki efek jangka pendek. Tidak jelas apakah hormon
seks memiliki efek langsung
pada fungsi AChR. Menariknya, tingkat
ekspresi ERs meningkat baik di
timus dan PBMC (Peripheral Blood Mononuclear Cells) pada
pasien MG. Ekspresi ER meningkat dengan pengobatan dengan sitokin pro-
inflamasi
Efek hormon seks pada
pengembangan MG juga telah dievaluasi dalam model eksperimental MG. Leker dkk mengamati tidak ada perbedaan yang
signifikan pada tikus yang mengalami ovariektomi, sementara Delpy dkk
menunjukkan bahwa estrogen meningkatkan kerentanan
terhadap
EAMG (Experimental Rat Model of MG) dengan mendorong respon
imun Th 1.
Secara
keseluruhan,
data yang
tersedia menunjukkan bahwa
estrogen
dapat mempengaruhi respon baik anti-inflamasi dan pro-inflamasi. Efek estrogen sangat tergantung pada dosis, waktu dan
lingkungan mikro. Data lebih
lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi peran hormon seks di MG.
Disregulasi ekspresi
ER di thymocytes dan PBMC
dari
pasien MG bisa berkontribusi
induksi, pemeliharaan, dan
perkembangan respon autoimun melalui efek pada
produksi sitokin dan aktivitas
sel B.
4. Faktor Risiko
Lingkungan
Faktor
lingkungan,
seperti
obat (yaitu,
D-penicillamine
dan IFN-I),
polutan, dan patogen, juga diusulkan dapat meningkatkan risiko pengembangan
penyakit
autoimun. Hipotesis
bahwa agen
infeksius terlibat dalam patogenesis dari MG juga
telah diusulkan, seperti timus sensitif terhadap
infeksi. Hubungan antara
infeksi virus dan patologi thymus telah disarankan.
Kehadiran sel B dengan tanda-tanda
infeksi virus Epstein Barr (EBV) ditemukan
di timus
MG hiperplastik tapi tidak di pasien kontrol. Peran sel-sel ini
dalam pengembangan MG masih belum jelas, dan studi lebih lanjut
diperlukan untuk menentukan apakah
EBV berperan dalam
peristiwa yang
memicu MG atau dalam yang
mendorong sifat
kronis dari penyakit.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa virus lain, seperti cytomegalovirus, human foamy virus, dan
virus Nil, terkait dengan MG. Karena gejala
MG mungkin terjadi lama
setelah terjadinya infeksi,
sulit
untuk menghubungkan MG dengan infeksi
tertentu.
Tanda Antivirus dapat diamati di timus MG. Banyak gen yang diinduksi IFN-I yang diekspresikan dalam thymus pasien MG. MG thymus juga menunjukkan over ekspresi
dari IFNb dan TLR4, serta double-stranded
(ds) sinyal molekul RNA, termasuk TLR3, protein kinase R, IFNregulatory Factor (IRF) 5 dan IRF7. Baru-baru ini, Poly
(I:C), sintetik analog dari dsRNA, secara
khusus meninduksi overekspresi dari
α-AChR. Overekspresi dari subunit
AchR lainnya atau antigen spesifik jaringan tidak diamati. Overekspresi ini dimediasi oleh TLR3, protein kinase R dan pelepasan IFNb. Ketika Poly (I:C) disuntikkan
ke tikus, hal itu menyebabkan peningkatan jumlah limfosit B di timus dan
munculnya antibodi anti-AChR
di perifer.
Pada saat yang sama, ekspresi AChR pada
otot diafragma dan gejala klinis kelemahan otot berkurang. Karena antibodi
anti-AChR sangat spesifik untuk
MG dan patogen,
aktivasi signaling
dsRNA bisa berkontribusi sebagai etiologi MG. dsRNA adalah materi genetik dari virus
tertentu, dan juga dihasilkan selama siklus replikasi banyak virus. Dengan
demikian,
data ini sangat menunjukkan
bahwa MG berkembang
setelah infeksi
virus. Pengamatan ini bisa juga berhubungan dengan adanya
sel
EBV-positif di
timus MG. EBV mengkodekan
RNA kecil
(EBER) yang memicu signaling TLR3 dan menginduksi IFN-I dan ekspresi sitokin pro-inflamasi, sama dengan Poli (I:C).
Selain itu, penelitian terbaru melaporkan tingkat yang lebih tinggi dari
antibodi terhadap antigen nuklir tipe
1 EBV pada serum pasien EOMG daripada
kontrol sehat. Perubahan tingkat ekspresi TLRs juga
telah terdeteksi di PBMC, menunjukkan bahwa TLRs berkontribusi
dalam patogenesis MG. Konsekuensi
ini berubah dan peran mereka dalam MG tetap tidak jelas. Namun, korelasi positif antara tingkat TLR9 mRNA
dan
tingkat keparahan klinis MG telah
diamati.
Beberapa temuan menunjukkan bahwa IFN-I terlibat
dalam MG:
1) laporan klinis menunjukkan perkembangan MG setelah
terapi berbasis IFNα atau
β;
2) antibodi terhadap IFN-I ditemukan pada beberapa pasien
MG; dan
3) seperti ditunjukkan di atas, analisis transcriptome timus dari subkelompok
pasien MG yang berbeda menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam
ekspresi gen yang
diinduksi IFN-I.
Baru-baru ini menunjukkan bahwa IFN-I, khususnya IFNβ,
bisa memainkan peran sentral dalam hiperplasia folikel thymus yang terjadi pada pasien MG. IFNβ menginduksi overekspresi dari-AChR di TECs dan dari CXCL13 kemokin dan
CCL21 di TECs dan sel-sel
endotel limfatik. IFNβ juga meningkatkan ekspresi faktor aktivasi sel B (BAFF), yang mendukung sel B autoreaktif.
Hubungan antara pengembangan thymoma dan infeksi virus juga telah diteliti baru-baru ini. Pasien dengan timoma memiliki tingkat anti-IFN-I antibodi tinggi, dan
antibodi
ini juga
terdeteksi dalam
respon infeksi
virus. Thymus pasien MG dengan thymoma menunjukkan tingkat IFN-I tinggi, khususnya
IFNα2, IFN-α8, IFN-ω, dan IFN-β, dan ketidaksesuaian ekspresi sinyal molekul dsRNA. Secara
keseluruhan, pengamatan ini menunjukkan bahwa perkembangan thymoma di pasien MG dapat
berhubungan dengan
infeksi virus.
F. GEJALA KLINIS
Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan
kelelahan. Kelemahan otot terjadi seiring
dengan penggunaan
otot secara berulang, dan semakin berat dirasakan
di
akhir
hari.
Gejala ini akan
menghilang
atau membaik dengan istirahat. Kelompok otot-otot yang melemah
pada penyakit miastenis gravis memiliki pola yang
khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis,
otot kelopak mata dan gerakan bola mata terserang lebih dahulu. Akibat dari kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya
kelopak mata secaara abnormal(ptosis).
Gambar 2. Ptosis Pada Miastenia gravis Generalisata
A.
Kelopak mata
tidak simetris,kiri lebih rendah
dari kanan. B.
B Setelah
menatap
30 detik ptosis semakin
bertambah.
Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang
seperti tanpa ekspresi. Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah
dan
menelan makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain
itu,
terjadi gejala
gangguan dalam
berbicara, yang
disebabkan kelemahan dari langit-langit mulut dan
lidah. Sebagian
besar penderita
Miastenia gravis akan mengalami kelemahan
otot
di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada
anggota gerak ini akan dirasakan asimetris .
Bila seorang penderita Miastenia gravis hanya mengalami kelemahan di daerah
mata selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan
menyerang seluruh tubuh. Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut Miastenia gravis okular. Penyakit Miastenia gravis dapat menjadi
berat dan membahayakan jiwa. Miastenia gravis yang
berat menyerang
otot-otot
pernafasan sehingga
menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai diperlukan
bantuan alat pernafasan, maka penyakit Miastenia gravis
tersebut
dikenal
sebagai krisis Miastenia
gravis
atau
krisis
miastenik. Umumnya krisis miastenik disebabkan karena adanya infeksi pada penderita Miastenia gravis
Secara umum, gambaran klisnis Miastenia yaitu:
· Kelemahan otot yang progresif
pada penderita
· Kelemahan meningkat
dengan cepat pada
kontraksis otot yang berulang
· Pemulihan dalam beberapa menit
atau kurang dari satu jam, dengan
istirahat
· Kelemahan biasanya memburuk
menjelang malam
· Otot mata sering terkena pertama
( ptosis , diplopia ) ,
atau otot faring
lainnya ( disfagia ,
suara
sengau )
· Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap
unit motorik
· Kadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba
memburuk
· Tidak ada atrofi
atau fasikulasi
Menurut
Myasthenia
Gravis
Foundation of America (MGFA), Miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai
berikut :
Kelas I
|
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup
mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
|
Kelas II
|
Terdapat kelemahan
otot okular yang semakin
parah, serta adanya
kelemahan ringan
pada otot-otot lain selain otot okular.
|
Kelas Iia
|
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. juga
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
|
Kelas Iib
|
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan
otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
|
Kelas III
|
Terdapat kelemahan
yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan
otot-
otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan
tingkat sedang.
|
Kelas IIIa
|
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh,
otot-otot aksial,
atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
|
Kelas IIIb
|
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-
|
|
otot aksial,
atau keduanya dalam derajat ringan.
|
Kelas IV
|
Otot-otot lain selain
otot-otot okular mengalami kelemahan
dalam
derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan
dalam berbagai derajat.
|
Kelas Iva
|
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh
dan atau
otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan
dalam derajat ringan.
|
Kelas Ivb
|
Mempengaruhi otot orofaringeal,
otot-otot pernapasan atau keduanya
secara predominan. Selain
itu
juga terdapat kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
|
Kelas V
|
Penderita terintubasi,
dengan atau
tanpa ventilasi mekanik. 6, 9
|
Untuk
menilai
tingkat
respon
terhadap terapi
dan
prognosis, Osserman membuat
klasifikasi klinis sebagai
berikut :
a. Kelompok I
Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis
dan
diplopia. Sangat ringan dan
tidak ada kasus
kematian
(15-20 %)
b. Kelompok II
A :
Miastenia umum
ringan : progres lambat, biasanya pada
mata , lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena, respon terhadap terapi obat baik angka
kematian
rendah (30 %)
Kelompok II
B : Miastenia umum
sedang : progres bertahap dan sering disertai
gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-otot rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat
kurang memuaskan
dan
aktivitas pasien
terbatas. (25 %)
c. Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang
cepat dengan
kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang
berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernafasan.
Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma
paling tinggi. Respon terhadap obat bururk dan angka kematian tinggi.
(15%)
d. Kelompok
IV :
Miastenia Berat lanjut
: timbul paling sedikit
2 tahun sesudah progress gejala-gejala kelompok
I atau II. Respon terhadap obat dan
prognosis buruk. (10 %)
G. DIAGNOSIS
Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang
khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk
antibodi AchR dan CT-Scan atau
MRI
toraks untuk melihat adanya timoma.
1.
Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot
yang berulang setelah
aktivitas dan membaik
setelah
istirahat.
Tersering menyerang otot-otot mata (dengan manifestasi: diplopi
atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan
anggota badan (terutama triceps dan ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervi
cranialis,
dpat pula mengenai
otot
pernafasan yang menyebabkan penderita bisa sesak.
2. Tes
klinik sederhana:
a). Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang
antara kedua bola mata > 30 detik,
lama-kelamaan
akan
terjadi ptosis
(tes
positif).
b). Tes pita
suara
: penderita
disuruh menghitung 1-100, maka
suara
akan menghilang secara bertahap (tes
positif).
3. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang
memperpanjang kerja acetilkolin
pada nerumuscular juction dalam
beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena selama
15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi
sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya
kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh Miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama,
|
Gambar 3. Tes
Edrophonium dan EMG pada myasthenia gravis
4. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti
misalnya
ptosis, strabismus atau kelemahan
lain
tidak lama kemudian
akan
lenyap.
5. Laboratorium
Anti striated muscle
(anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang
menderita timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan
salah satu tes yang penting pada penderita Miastenia
gravis. Pada
pasien tanpa
timoma anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada
pasien dengan
usia lebih dari 40 tahun.
Anti-muscle-specific
kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil
yang positif untuk anti-MuSK Ab.
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan
ini dapat digunakan untuk
mendiagnosis
suatu Miastenia gravis, dimana
terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari
penderita Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari
penderita dengan Miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin
reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien timoma tanpa Miastenia gravis
sering kali terjadi
false
positive anti-AChR
antibody.
6.
Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuro
muscular melalui 2 teknik :
Single-fiber
Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada
neuromuscular fiber berupa peningkatan titer dan fiber density yang
normal. Karena menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan
kecil untuk merekam serat otot
penderita,
sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum
perekam).
Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah
reseptor asetilkolin, sehingga
pada
RNS terdapat adanya penurunan
suatu potensial aksi.
7. Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat
dilakukan dalam posisi
anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai
suatu massa pada bagian anterior mediastinum.
· Hasil roentgen yang negatif belum tentu
dapat
menyingkirkan
adanya thymoma ukuran kecil,
sehingga terkadang perlu
dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Miastenia gravis,
terutama pada penderita dengan
usia tua.
· MRI pada otak dan
orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis Miastenia gravis
tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan
penunjang lainnya dan
untuk mencari penyebab
defisit pada saraf
otak.
H. PENATALAKSANAAN
a. Acetilkolinesterase inhibitor
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon)
30-120 mg/3-4 jam/oral. Dosis parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk mengunyah,
menelan,
dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat diberikan mestinon long-acting 180 mg. Apabila
diperlukan, neostigmin bromida (prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1
mg/4
jam/iv atau im.
Neostigmin dapat menginaktifkan atau
menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin
tidak
segera
dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan
dan
daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase
akan sangat bermanfaat pada Miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase
disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,
termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan.
Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat
diatasi dengan pemberian propantelin
bromida atau atropin.
b. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-
20 mg, dinaikkan bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari
selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek sampingnya dapat berupa: peningkatan
berat
badan,
hiperglikemia,
osteopenia,
ulkus gaster dan duodenum,
katarak.
c. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan
steroid dan terutama
berupa gangguan
saluran cerna,peningkatan enzim hati,
dan leukopenia. Obat
ini diberikan dengan dosis 2-3
mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu
pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah
lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu
pemeriksaan laboratorium
dikerjakan setiap bulan
sekali. Pemberian
prednisolon bersama-
sama dengan azatioprin
sangat dianjurkan.
d. Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada
situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi
dengan PE adalah pemindahan
anti-asetilkolin
secara efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer
antibodi. Dimana pasien
yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan
intubasi dalam waktu yang lama serta
trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.Terapi ini digunakan pada
pasien yang akan memasuki atau sedang
mengalami masa krisis.
PE dapat memaksimalkan tenaga pasien
yang akan menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca operasi.
Jumlah dan volume
dari
penggantian yang dibutuhkan
kadang-kadang berbeda tetapi umumnya 3-4
liter sebanyak
5x dalam
2 minggu.
e. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari
selama 2 hari.
f. Timektomi
Timektomi umumnya dianjurkan pada
pasien umur 10-55 tahun dengan
Miastenia gravis generalisata. Walaupun
timektomi merupakan terapi standar
di berbagai pusat pengobatan namun keeefektivitasannya
belum dapat dipastikan oleh
penelitian prospektif yang terkontrol. Timektomi diindikasi pada terapi awal pasien
dengan
keterlibatan ekstremitas bawah dan bulbar.
I. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan
diagnosis Miastenia gravis, antara lain :
a. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit selain
Miastenia
gravis, antara lain :
o Meningitis basalis
(tuberkulosa atau luetika)
o Infiltrasi karsinoma anaplastik
dari
nasofaring
o Aneurisma di
sirkulus arteriosus
Willisii
o Paralisis pasca difteri
o Pseudoptosis pada trachoma
b. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu
sklerosis multipleks.
c. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton
Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan
kelelahan pada
otot anggota tubuh
bagian proksimal dan disertai dengan
kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular
dan
bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter,
terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma
terutama oat cell carcinoma pada paru. EMG pada LEMS
sangat berbeda dengan EMG pada Miastenia gravis. Defek pada
transmisi neuromuscular
terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi akan terjadi hambatan stimulasi pada frekuensi
yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada
Miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan
asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang
akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi..
J. PROGNOSIS
Pada Miastenia
gravis Ocular,
dimana kelemahan
pada mata
menetap lebih
dari 2 tahun, hanya 10-20% yang berkembang menjadi Miastenia gravis
generalisata. Penanganan dengan steroid dan imusupresi masi kontroversial. Pada Miastenia gravis generalisata, membaik dengan pemberian
imunosupresi, timektomi, dan pemberian obat yang dianjurkan. Grob melaporkan angka kematian
7 %, membaik 50 % dan
tidak ada perubahan
30 %.
BAB
3
PENUTUP
Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem
saraf (nervus)
dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai dengan
kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di mana kelemahan tersebut
diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau aktivitas yang dilakukan berulang-
ulang. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang neuromuskular
juction ditandai oleh
suatu kelemahan otot dan cepat lelah
akibat adanya antibodi
terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah
AchR di neuromuskular juction
berkurang. Pada umur 20-30 tahun Miastenia gravis lebih
banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 60 tahun lebih banyak
pada pria
(perbandingan ratio
wanita dan
pria adalah
3:2).
Diagnosis
Miastenia gravis
dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik
yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi
AchR dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat
adanya timoma.
No comments:
Post a Comment